Di sebuah desa kecil yang diselimuti salju, tinggal seorang anak bernama Lila. Malam Natal sudah di depan mata, tapi Lila merasa sedih. Ayahnya, seorang penebang kayu, belum pulang sejak pergi ke hutan tiga hari yang lalu. Di rumah, Lila dan ibunya hanya punya satu lilin kecil untuk menerangi malam yang dingin itu.

 

“Ayah pasti akan pulang,” kata ibunya lembut, meski kekhawatiran tampak di matanya.

 

Lila menatap pohon cemara kecil di sudut ruangan. Pohon itu dihias sederhana dengan pita-pita kain bekas. Ia berharap keajaiban Natal akan datang dan membawa ayahnya pulang.

 

Malam semakin larut, angin dingin berhembus, dan bayangan salju tampak berkilauan di luar jendela. Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di pintu. Lila bergegas membukanya dan di sana berdiri seorang pria tua berjubah tebal. Wajahnya yang ramah dan senyumnya membuat hati terasa hangat.

 

“Selamat malam, Lila,” sapanya lembut. “Aku mendengar doamu. Aku di sini untuk membantu.”

 

Pria itu mengeluarkan lentera kecil dari tasnya. “Lentera ini akan membawamu ke tempat di mana keajaiban menunggu.”

Lila memegang lentera itu dan cahaya lembut menyebar memenuhi ruangan. Seperti dipandu oleh kekuatan magis, Lila mengikuti sinar lentera keluar rumah. Salju terasa hangat di bawah kakinya dan angin malam berbisik seolah menunjukkan jalan. Ia tetap berjalan mengikuti sinar lentera yang bersinar begitu terang. Hingga di tepi hutan, ia melihat ayahnya yang duduk di bawah pohon, terjebak badai salju beberapa hari lalu. Lentera itu tetap bersinar menerangi jalan, sehingga Lila dan ayahnya bisa kembali ke rumah dengan selamat.

Saat mereka masuk ke rumah, lonceng gereja berdentang, menandai tengah malam. Malam Natal penuh kehangatan, cinta, dan keajaiban. Lila menyadari bahwa Natal bukan hanya tentang hadiah, melainkan tentang harapan dan cahaya di tengah kegelapan

Penulis: Niserly Ciamaudi/23/XI-H

editor: Denta Pinasthika

.

Sebarkan artikel ini